Beberapa hari terakhir, sebuah foto unik muncul. Bukan sekadar dokumentasi biasa, tapi potret yang memantik banyak pertanyaan. Seorang mantan bupati yang pernah terjerat kasus korupsi dan ditangkap oleh Lembaga Anti Rasuah, kini muncul kembali. Bukan sebagai pejabat, tapi hadir kemudian berpose bersama sejumlah ASN dan Pejabat Aktif di salah satu dinas paling strategis yakni Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR).

Yang membuatnya menjadi isu publik adalah satu fakta penting: sang mantan bupati kini bukan siapa-siapa secara jabatan, namun memiliki keterkaitan personal yang tak bisa diabaikan adalah keadaan dimana keluarga yang sangat intinya kini menjabat sebagai Bupati di Kabupaten yang sama.

Lantas, muncul pertanyaan kritis: Apakah ini sekadar silaturahmi atau bentuk campur tangan kekuasaan lama dalam wajah baru?

Rehabilitasi Sosial atau Reposisi Politik?

Memang, setiap narapidana yang telah menjalani hukuman punya hak untuk kembali ke masyarakat. Namun, ketika mereka muncul di ruang-ruang strategis kekuasaan, apalagi bersinggungan dengan institusi yang dahulu menjadi sorotan dalam kasus korupsinya, maka ini bukan lagi sekadar pemulihan nama baik. Ini bisa dibaca sebagai manuver simbolik, bahkan upaya reposisi politik.

Kehadiran figur kontroversial ini di lingkungan Dinas PUPR (instansi yang sarat anggaran),  penuh proyek, dan rawan praktik culas), secara tidak langsung menciptakan tekanan psikologis bagi pejabat dan ASN yang masih aktif. Bukan tidak mungkin, loyalitas ASN terbelah antara formalitas jabatan dan kekuatan informal yang tampak hidup kembali.

Bayangan Dinasti Politik dan Praktik Lama

Kekuasaan yang diwariskan dalam lingkaran keluarga bisa mengaburkan garis antara pemerintahan yang demokratis dan dinasti politik. Jika istri menggantikan suami sebagai bupati, dan sang suami kembali hadir di ruang-ruang kekuasaan, bagaimana publik bisa yakin bahwa keputusan-keputusan strategis benar-benar diambil oleh pejabat yang sah secara hukum, bukan oleh “tangan-tangan bayangan”?

Di sisi lain, publik patut waspada. Jangan sampai reformasi birokrasi yang selama ini diperjuangkan tercoreng oleh praktik-praktik lama yang menyelinap melalui kedekatan emosional dan politis.

Menjaga Marwah Pemerintahan 

Pemerintahan yang bersih tak cukup dengan sekadar bebas dari pelanggaran hukum. Ia juga harus bebas dari kesan konflik kepentingan, bayang-bayang kekuasaan masa lalu, dan simbol-simbol yang mengikis kepercayaan rakyat.

Karena itu, penting bagi pemerintah daerah, khususnya kepala daerah yang sedang menjabat, untuk menjaga jarak yang sehat antara keluarga dan roda pemerintahan. Menjaga simbol dan narasi yang dibangun. Karena dalam politik, simbol itu bicara. Dan publik lebih jeli dari yang kita kira.

Ini situasi yang sangat menarik, tapi juga cukup sensitif dan sarat makna politik.

Dari sisi etika pemerintahan dan persepsi publik, ini problematis. Ketika seorang mantan pejabat yang pernah terjerat kasus korupsi tampil kembali di Ruang-Ruang Kekuasaan (meskipun secara informal), terlebih di FOTO BERSAMA ASN atau Pejabat Aktif, dan di Instansi Strategis seperti Dinas PUPR itu bisa menimbulkan persepsi negatif. Masyarakat bisa mempertanyakan apakah ada pengaruh “tak resmi” yang sedang dimainkan, apalagi jika yang bersangkutan punya kedekatan personal dengan kepala daerah yang sedang menjabat (dalam hal ini, istrinya sendiri).

Dinas PUPR sendiri adalah OPD yang rawan kepentingan. 

Pekerjaan infrastruktur, tender proyek, pengadaan barang dan jasa. Semuanya bersentuhan langsung dengan potensi praktik korupsi. Kehadiran mantan bupati yang punya rekam jejak buruk di instansi ini, walaupun sekadar “hadir” atau “berfoto”, bisa menimbulkan kecurigaan publik soal siapa sebenarnya yang berperan di balik layar.

Secara hukum, mantan narapidana korupsi tidak otomatis kehilangan hak sosialnya, termasuk hak berkumpul atau berinteraksi. Tapi ketika hal itu terjadi di ranah birokrasi dan bahkan bisa dibaca sebagai “campur tangan”. Maka itu menyentuh wilayah etika dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan.

Meski belum tentu melanggar hukum, kehadiran mantan bupati yang pernah terjerat kasus korupsi di lingkungan pemerintahan, terutama di instansi strategis seperti PUPR, sebaiknya dihindari untuk menjaga integritas, transparansi, dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan saat ini. Simbol dalam politik itu kuat. Dan foto bisa berbicara lebih banyak daripada kata-kata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *