Universitas Lampung (Unila) berada di bawah sorotan tajam setelah salah satu dosennya diduga terlibat penggelapan dana ganti rugi lahan proyek Bendungan Margatiga, Lampung Timur, yang merugikan negara hingga Rp3,4 miliar.
Kasus ini mencuat setelah warga yang merasa dirugikan melaporkan DPP ke Polsek Sekampung pada 16 Desember 2024. Warga mengungkap bahwa dana yang ditransfer ke rekening DPP tidak tercatat dengan transparan. Bahkan, aliran dana dari rekening atas nama DPP ke rekening pribadinya tercatat dalam buku tabungan warga.
Sukirdi, salah satu warga korban, menyebut dirinya mentransfer Rp195 juta sebagai fee ke rekening DPP. Namun, bukti transfer tersebut diminta oleh istri DPP. Kasus serupa dialami oleh warga lain yang kini mendesak pihak kepolisian mengusut tuntas dugaan manipulasi, termasuk indikasi keterlibatan pihak perbankan.
Dr. Wendy Melfa, pakar hukum tata negara, menyoroti pelanggaran etika dan aturan yang dilakukan DPP sebagai ASN. Menurutnya, ASN dilarang berpraktik sebagai kuasa hukum tanpa izin pimpinan fakultas, terutama dalam kasus yang melibatkan kepentingan umum.
Dokumen perjanjian yang beredar menunjukkan bahwa DPP bertindak atas nama Kantor Hukum Bayu Teguh Pranoto & Partners. Hingga berita ini diturunkan, DPP maupun Dekan FH Unila, M. Fakih, belum memberikan konfirmasi terkait dugaan keterlibatan tersebut.
Penerima kuasa substitusi dari LBH Garda Advokasi Masyarakat, Sultan Junaidi mengatakan modus sang oknum dosen FH Unila itu dilakukan saat pencairan ganti rugi tahap kedua yang diterima warga.
“Awalnya, DPP mengaku sebagai advokat menggandeng LBH untuk bermitra agar bisa mengurus persoalan tersebut bersama-sama. Padahal saat itu persoalannya tinggal sedikit lagi. Dan setelah pencairan, oknum tu memperoleh fee Rp3,4 miliar dari uang ganti rugi yang diterima masyarakat. Yang dikirim ke LBH hanya Rp200 juta. DPP telah mengingkari komitmennya,” kata Sultan Junaidi.
Keterlibatan oknum dosen FH Unila terkait pemotongan 15% atas jasanya mengurus proses uang ganti rugi lahan Register 37 Way Kibang yang selama ini digarap warga Desa Trisinar dan Mekar Mulyo, dibenarkan H Kemari SH, advokad yang juga banyak terlibat dalam penanganan proses ganti rugi pembangunan Bendungan Marga Tiga.
“Sejak tahun 2021 saya sudah mendampingi masyarakat penggarap tanah Register 37 Way Kibang yang terletak di Desa Trisinar, Margatiga, dan Mekar Mulyo, Sekampung. Dan adanya pemberian ganti rugi kepada warga dua desa itu, ya karena upaya-upaya yang kami lakukan,” kata H. Kemari Juli 2024 lalu.
Kasus ini juga menyeret nama H. Kemari, SH, advokat yang sebelumnya bekerja sama dengan DPP dalam pengurusan ganti rugi lahan Register 37 sejak 2021. Kini menjabat Ketua Komisi III DPRD Lampung Timur, H. Kemari telah menghentikan aktivitasnya sebagai advokat sejak menduduki posisi tersebut.
H Kemari yang kini menjadi anggota DPRD Kabupaten Lampung Timur itu mengatakan memang ada potongan 15% dari dana ganti rugi yang diterima warga, sebagai fee atas perjuangannya. Dan dia menyebut, bahwa dirinya berjuang bersama dengan DPP, dosen FH Unila.
Terkait dugaan DPP ingkar janji kepada LBH dalam pembagian fee yang diterimanya, H. Kemari tidak mau memberi penjelasan.
“Hal ini sudah saya substitusikan ke temen-temen advokat sesuai dengan aturan hukum. Saya sudah tidak berkecimpung, karena posisi saya sekarang, mas,” kata H. Kemari melalui pesan WhatsApp, Kamis 19 Desember 2024.
Tersangka di Limpahkan
Dua tersangka korupsi proyek bendungan Marga Tiga, Okta Tiwi Priyatna ASN Dinas Pertanian Lampung Timur, dan Alin Setiawan, Kepala Desa Trimulyo, Kecamatan Sekampung, dilimpahkan ke Kejari Lampung Timur dan ditahan di rumah tahanan (Rutan) Sukadana, Lampung Timur, Kamis 19 Desember 2024.
Berkas perkara tersangka Okta Tiwi Priyatna dan Alin Setiawan, dinyatakan lengkap atau P21 oleh penyidik direktorat kriminal khusus (Ditkrimsus) Polda Lampung dan segera sidang di Pengadilan Tipikor Tanjung Karang pada Januari 2025.
Penasihat Hukum tersangka, Irwan Apriyanto mengatakan dua kliennya dilimpahkan dari Polda Lampung kepada Kejari Sukadana Lampung Timur, dan berkas lengkap P 21. “Pelimpahan tahap dua penuntutan atau P21 ke kejaksaan negeri Lampung Timur dan langsung dilakukan penahanan, sejak 19 Des 2024,” kata Irwan Aprianto.
Menurut Irwan Aprianto setelah di Kejari Lampung Timur, kliennya akan dititipkan ke rumah tahanan negara atau Rutan Way Hui dan akan disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjung Karang. ”Insya Allah Kalau tidak ada hambatan, rencananya pada bulan Januari 2025, dua klin kami akan disidangkan di pengadialan, tipikor Tanjungkarang,” ujarnya.
Untuk diketahui Polda Lampung telah menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi ganti rugi tanam tumbuh lahan proyek bendungan Marga Tiga, Lampung Timur. Diantaranya AR Mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lampung Timur periode 2020-2022, ketua pelaksana pengadaan tanah untuk lokasi bendungan Marga Tiga, IN selaku penitip tanam tumbuh. Okta Tiwi Priyatna selaku satgas dan Alin Setiawan selaku Kades Trimulyo sebagai penitip tanam tumbuh dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp439 miliar.
Kapolda Lampung Irjen Pol Helmy Santika, membenarkan adanya penetapan empat orang tersangka atas kasus korupsi tersebut, yang ditetapkan setelah Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Lampung memeriksa 200 orang saksi dan 10 orang saksi ahli. Penyidik juga telah mengamankan barang bukti berupa uang sebesar Rp9,35 miliar, ponsel, komputer jinjing, hingga kartu SIM. “Dalam melaksanakan investigasi, petugas juga menjaga dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pengadaan tanah pengerjaan proyek,” kata Kapolda.
Menurut Kapolda, pihaknya telah menyelamatkan ratusan miliar rupiah uang negara dari potensi yang dikorupsi. Penyelamatan itu dilakukan setelah hasil audit, proses pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh Pemerintah. “Penyidikan kasus korupsi ini tidak terkait dengan pembangunan fisik bendungan, melainkan proses pembebasan lahannya,” jelas Kapolda.
Pada audit pertama, ditemukan 202 lahan yang telah digarap, dan 1.744 bidang yang sedang dalam proses izin lahan. Dalam hasil audit untuk 202 lahan itu terdapat kerugian Negara mencapai Rp 43 miliar. Lalu, pada audit kedua atas lahan seluas 1.744 hektar dilakukan sebanyak dua kali.
Audit dilakukan dua tahap. Yang pertama, yakni 1.438 bidang lahan dan 306 bidang lahan (audit tahap II). Dari hasil audit BPKP Lampung tahap I atas 1.438 bidang, ditemukan usulan uang ganti kerugian mencapai Rp 507 miliar. “Sedangkan jumlah yang layak dibayar sebagai uang ganti kerugian hanya Rp82,2 miliar,” kata Helmy.
Sehingga, uang negara yang bisa diselamatkan dari potensi korupsi mencapai Rp425,3 miliar. Lalu, pada audit tahap II atas 306 bidang lahan, uang ganti kerugian yang diusulkan mencapai Rp 23,9 miliar. Namun, hasil audit menunjukkan jumlah yang layak dipinjamkan hanya sebesar Rp9,8 miliar. “Tahap kedua ini potensi kerugian Negara yang bisa diselamatkan mencapai Rp14,1 miliar,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan Rektor Unila, Prof. Lusmeilia Afriani belum memberikan tanggapan terkait kasus yang mencuat ke publik, pihak rektorat Unila terkesan memilih bungkam, memicu pertanyaan tentang transparansi dan integritas institusi pendidikan tersebut. (Red)