Sudah bertahun-tahun, Tumpukan Sampah bekas TPS di Perumahan Bataranila masih jadi persoalan. Sampah yang mencemari lingkungan dan potensi penyakit ada di lokasi ini, bahkan sering ditemukan ular kobra yamg membuat sarang.
Memang TPS ini sudah tidak beroperasi sama sekali dikarenakan lokasi yang tidak memenuhi kriteria TPST yang sangat berdekatan dengan pemukiman warga. Namun tumpukan sampah yang tidak dikelola dan ditinggalkan begitu saja ini menimbulkan banyak persoalan. Pengelolaan nya yang tidak serius kala itu membawa dampak negatif hingga saat ini. Alat pengolah sampah nya pun tidak jelas diolah siapa dan kemana.
Diketahui, Sejak terbakar beberapa hari yang lalu, kini tumpukan sampah yang sebagian besar terdiri dari sampah plastik dan bahan lain yang tidak dapat terurai oleh alam menimbulkan polusi udara yang diakibatkan oleh debu hasil pembakaran yang tertiup angin dan terhirup oleh warga. Kemudian pencemaran tanah dan yang ditakutkan adalah ketika hujan mulai turun, tumpukan sampah tersebut longsor, lalu mencemari sumber air dan alam sekitarnya.
Warga setempat dengan berbekal alat seadanya telah beberapa kali bergotong royong membereskan persoalan sampah sisa TPS tersebut. Tak hanya tenaga dan pikiran, materi pun telah dikerahkan, namun hasil yang didapatkan belum maksimal. Bak lokasi wisata untuk untuk healing, nampaknya Aparatur Desa setempat juga seperti menganggap sampah-sampah ini bukan persoalan yang penting untuk dibereskan.
Entah bagaimana sudut pandang nya, masyarakat menilai bahwa Aparatur Desa setempat seolah melihat bahwa persoalan ini sebagai persoalan yang urgensitas nya Nol. Memang jika angle nya adalah kuantitas, sampah di lokasi ini memang belum menggunung tinggi seperti di TPA. Namun akan lebih bijak lagi jika Aparatur Desa setempat jeli dan memiliki wawasan luas tentang kelestarian lingkungan, dampak bagi kesehatan, pencegahan polusi yang berdampak bagi khalayak ramai.
Menurut pantauan Lampung Street News, semenjak dilanda kemarau beberapa minggu belakangan, tumpukan sampah ini mulai longsor. Sampah yang sempat terbakar itu saat ini menimbulkan debu hitam yang menganggu kesehatan pernafasan.
“Kami telah beberapa kali bergotong royong memadamkan api yang membakar tumpukan sampah ini. Andai bisa didukung alat. Mungkin kita bisa terbebas dari masalah yang ditimbulkan di lokasi ini”, kata Iyon (Sabtu, 16/09).
Kepedulian warga yang bermukim di sekitar Gunungan Sampah ini sudah tidak perlu diragukan lagi. Terlihat dari antusias warga yamg kerap mengontrol dan menyiapkan fasilitas air.
Kendala yang dihadapi adalah kurang nya alat penunjang untuk membereskan secara maksimal dan tuntas. Banyak nya pecahan kaca dan benda tajam lain di lokasi ini juga sangat berbahaya jika ditangani secara sederhana tanpa alat yang memadai.
“Alhamdulillah semenjak lokasi ini mulai bersih, warga sudah mulai sadar gak mau buang sampah disini. Tapi kami warga butuh support dari pihak-pihak berwenang, karena di bawah itu ada kali yang mengalir. Kalo tercemar kan malah menimbulkan masalah baru. Belum lagi beling nya. Ya mungkin pemerintah setempat mau bantu mas. Gak bantu juga ya udah maklum aja”, keluh Budi kepada LSN.
Pemerintah telah menetapkan Pengelolaan sampah di Indonesia dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu, pengumpulan dari sumber sampah, pengangkutan dari Tempat Penampungan Sementara (TPS), dan akan berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Dengan metode Open Dumpling dan Landfill. Sampah dalam jumlah besar yang berasal dari TPS wilayah tertentu akan ditampung di TPA. Namun, berbeda dengan TPS ini, jangankan dibawa ke TPA atau dikelola serius melalu Bank Sampah yang bisa disupport aparatur setempat. Justru sampah-sampah ini dianggap benda hidup berkaki yang dapat pindah dengan sendiri nya berjalan mandiri ke TPA yang telah ditetapkan sesuai kriteria. Sampah malah dibiarkan begitu saja.
Sejak diterbitkan UU 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah beserta turunannya, soal tugas dan wewenang pengelolaan sampah sudah diatur. Begitu pula dengan diterbitkannya UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Permendagri 90/2019 tentang Klasifikasi, Kodefikasi, dan Nomenklatur Perencanaan dan Keuangan Daerah. Sudah sangat jelas pula, Instansi mana saja yang dapat mengalokasikan anggaran dan sejauh mana perannya dalam penyelenggaran pengelolaan sampah di daerah. Terakhir dengan lahirnya UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga tidak mengubah tugas dan wewenang pengelolaan sampah selama ini. Kemana marwah Desa kalau harus melibatkan Pemkab atau Pemegang Kekuasaan di atasnya untuk menciptakan Problem Solving atas hal ini.
“Minimal bantu alat mas. Air sudah kering untuk nyiram sampah ini terbakar waktu itu. Ini juga sudah kemarau. Kami menginginkan tempat ini benar-benar terbebas dari sampah dan benda-benda berbahaya”, tambah Budi.
Warga berharap Pihak terkait dapat lebih concern dan segera mengambil langkah bersama masyarakat setempat untuk menyelesaikan masalah sampah ini, karena dilihat dari potensi dampak buruk nya, pembiaran tentunya akan memakan biaya yang lebih besar. Menurut pantauan LSN, Wilayah sekitaran Kompleks Perumahan Bataranila memang jarang tersentuh manfaat Dana Desa selama beberapa tahun belakangan. Warga dibiarkan melakukan perbaikan dan pembangunan fasilitas umum secara swadaya. Insfrastruktur seperti jalan kampung pun banyak dibiarkan hancur begitu saja.
Tidak ada salahnya jika Dana Desa juga dirogoh. Kekhawatiran terhadap timbulnya penyakit yang bersumber dari sampah di tempat ini hingga potensi polusi udara, airi dan kelestarian lingkungan seharusnya dapat menjadi perhatian Aparatur setempat. Apalagi jika dikalkuasi, penanganan masalah ini sangat jauh lebih sedikit Rupiahnya namun membawa manfaat yang dapat jauh lebih bernilai dari keuntungan proyek, bahkan manfaatnya dapat dirasakan Desa lain dan Hajimena khususnya. Cost nya juga tidak meninggalkan kesan membuang anggaran dengan hasil yang tidak relevan seperti pembangunan jalan di salah satu Dusun yang sempat diberitakan asal jadi di 2021.